Entri Populer

Senin, 14 Maret 2011

Beberapa Standar Tentang Jalan

Sistem transportasi akan mempengaruhi terhadap pola perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah. Untuk analisa jalan raya yaitu mengenai fungsi jalan dan volumenya kondisi saat ini disesuaikan dengan klasifikasi jalan menurut Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1985, yakni dibedakan menjadi:



 Menurut fungsi jalannya terbagi atas:
Jalan Primer
Menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi dalam satuan wilayah pengembangan menghubungkan secara menerus kota jenjang satu, kota jenjang ke dua, kota jenjang di bawahnya sampai ke persil. Menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota jenjang ke satu antar satuan wilayah pengembangan.
Jalan Sekunder
Menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke perumahan.
Menurut Volume Jalan, terbagi atas:
Arteri Primer
Menghubungkan kota jenjang ke satu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang ke satu dengan ciri-ciri sebagai berikut:



  • Di desain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam.



  • Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.



  • Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas rata-rata.



  • Jumlah jalan masuk ke arteri primer dibatasi secara efisien dan di desain sedemikian rupa sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud diatas masih tetap terpenuhi.



  • Persimpangan pada jalan arteri primer dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan.



  • Tidak terputus walaupun memasuki kota.
Pengaturan lalu lintas yang dapat dilakukan antara lain berupa :



  • Pengurangan/pembatasan hubungan langsung ke jalan arteri primer



  • Penambahan Jalur Lambat



  • Penyediaan Jembatan Penyeberangan



  • Pemisah jalur oleh marka atau oleh pemisah tertentu



  • Pengurangan/pembatasan peruntukan parkir
Arteri Sekunder
Menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder I atau menghubungkan kawasan sekunder I dengan kawasan sekunder II. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam, Mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. Lalu lintas tidak terganggu, Persimpangan dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan.
Kolektor Primer
Menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam. Mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan. Tidak terputus walaupun memasuki kota. Apabila terdapat dua atau lebih jalan Kolektor Primer yang menghubungkan ibukota propinsi dengan ibukota Kabupaten/Kotamadya atau antar ibukota Kabupaten/Kotamadya maka pada dasarnya hanya satu yang ditetapkan statusnya sebagai jalan propinsi.
Kolektor Sekunder
Menghubungkan kawasan sekunder II dengan kawasan sekunder II atau menghubungkan kawasan sekunder II dengan kawasan sekunder III. Didesain berdasarkan kecepatan rencana yang paling rendah 20 km/jam
Lokal Primer
Menghubungkan kota jenjang ke satu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga.
Untuk keperluan pengaturan penggunaan dan pemenuhan kebutuhan angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas yang didasarkan pada kebutuhan transportasi, pemilihan moda secara tepat dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik masing-masing moda, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, muatan sumbu terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan. Adapun kelas-kelas jalan tersebut terdiri dari :



  • Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm, dan muatan sumbu terberat yang diijinkan lebih besar dari 10 ton



  • Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 10 ton



  • Jalan Kelas IIIA, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm, dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton



  • Jalan kelas II B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 mm, dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton



  • Jalan kelas III C, yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 mm, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 mm dan muatan sumbu terberat yang diijinkan 8 ton
Potongan Melintang
Desain geometrik potongan melintang jalan meliputi bagian-bagian sebagai berikut : badan jalan dan daerah jalan, jumlah dan lebar jalur, median, bahu jalan yang diperkeras, fasilitas perjalanan (trotoar), kerb, dan lain-lain. Kebutuhan lebar badan jalan minimum adalah 3,5 meter, dengan maksud agar lebar jalur lalu lintas dapat mencapai 3 meter sehingga dengan demikian pada keadaan darurat dapat dilewati ambulans, mobil pemadam kebakaran, dan kendaraan khusus lainnya.
Badan jalan meliputi jalur lalu lintas dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan, badan jalan hanya diperuntukkan bagi arus lalu lintas dan pengamanan terhadap konstruksi jalan. Secara geometris lebar badan jalan dan daerah jalan yang meliputi daerah milik jalan (Damija), daerah manfaat jalan (Damaja) dan daerah Pengawasan Jalan (Dawasja) pada masing-masing fungsi jalan sebagaimana diatur pada Undang-undang Nomor diuraikan pada tabel 2.1 berikut ini :
Standar Lebar Badan dan Daerah Jalan
FUNGSI JALAN
DAMIJA (m)
DAMAJA(m)
DAWASJA
MINIMAL(m)
Arteri Primer
8
14
20
Kolektor Primer
7
11
15
Lokal Primer
6
8
10
Arteri Sekunder
8
14
20
Kolektor Sekunder
7
7
7
Lokal Sekunder
5
5
5
Sumber : Undang-undang Nomor 26 tahun 1985
Daerah manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman ruang bebas tertentu yang ditetapkan oleh pembina jalan, ruang yang dimaksud hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya.
Daerah milik jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh pembina jalan dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diperuntukkan bagi daerah manfaat jalan dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalu lintas di kemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengaman jalan.
Daerah pengawasan jalan merupakan ruang sepanjang jalan diluar daerah milik jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang ditetapkan oleh pembina jalan yang diperuntukkan bagi pandangan bebas bagi pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan. Batas luar Dawasja diukur dengan jarak ke setiap sisi dari as jalan sesuai dengan persyaratan klasifikasi fungsional jalan yang bersangkutan, dalam hal jembatan lebar Dawasja diukur dari tepi luar pangkal jembatan.

Kamis, 10 Maret 2011

Neraca Penatagunaan Tanah

1. Reformasi Hukum Pertanahan
Reformasi hukum pertanahan boleh jadi telah dimulai melalui penerbitan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang telah diundangkan pada tanggal 26 April 2007 yang lalu. Dalam ketentuan pelaksanaan pemanfaatan ruang, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 32-34, harus dilaksanakan dengan pengembangan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya. Selain itu dalam ketentuanketentuan perencanaan tata ruang wilayah kota, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 28-31, terdapat penegasan untuk menyediakan ruang terbuka hijau sekurangnya 30% dari luas wilayah kota, 20% di antaranya adalah ruang terbuka hijau publik dan 10% di antaranya adalah ruang terbuka hijau privat. Dalam hal ini pelaksanaan perencanaan ruang dan pemanfaatan ruang telah memasuki pengaturan ruang-ruang privat.



Pada tahun 2004 telah diterbitkan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, sebagai tindak lanjut dari UUPR terdahulu. Di dalam PP tersebut telah mulai diperkenalkan neraca tanah yang digunakan dalam penatagunaan tanah, walau hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan pengaturan yang lebih mendalam. Oleh sebab itu dalam Pasal 33(2) UUPR yang mengatur pengembangan penatagunaan tanah harus melalui penyelenggaraan kegiatan dan penyusunan neraca penatagunaan tanah.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota

















2. Penatagunaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) menyebutkan, dalam penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah. Hal ini membuka upaya bagi Pemerintah untuk memenuhi di antaranya ketentuan Pasal 29 yaitu aspek penyediaan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH), dan secara khusus adalah untuk pembangunan prasarana (infrastruktur) kepentingan umum.
Selama ini telah dikenal dua metode yang berkaitan dengan penyediaan lahan publik, yaitu sebagaimana dapat dilihat dalam dua kebijakan :

a. Konsolidasi lahan (land consolidation), sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Lahan.
b. Akuisisi lahan (land acquisition), sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Infrastruktur Publik.

Dengan terbitnya UUPR No. 26 Tahun 2007, kaidah-kaidah penatagunaan tanah memerlukan penyesuaian metode lebih lanjut sehingga dapat selaras dengan maksud dan tujuan penataan ruang di dalam UUPR tersebut.


3. Pemanfaatan Ruang
Dalam pemanfaatan ruang wilayah kota, dilakukan :
a. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis;
b. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan
c. Pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang strategis, ditetapkan kawasan budidaya yang dikendalikan dan kawasan budidaya yang didorong pengembangannya.

Pelaksanaan pembangunan dalam hal ini dilaksanakan secara terpadu. Adapun pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai dengan :
a. standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. standar kualitas lingkungan; dan
c. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.


4. Neraca Penatagunaan Tanah
Neraca penatagunaan tanah pada dasarnya merupakan program operasionalisasi pemanfaatan ruang dalam upaya mewujudkan pola ruang dan struktur ruang wilayah dan kawasan strategis. Dalam penyusunannya telah mempertimbangkan berbagai ketentuan dan kaidah penataan ruang, meliputi di antaranya standar pelayanan minimal dan standar kualitas lingkungan.

Penyusunan neraca penatagunaan tanah meliputi :
a. penyajian neraca perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah;
b. penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah;
c. penyajian ketersediaan tanah dan sumber daya alam lain dan penetapan prioritas penyediaannya pada rencana tata ruang wilayah.

Faktor ketersediaan dimaksudkan perlunya pertimbangan aspek meteorologi, klimatologi, geofisika, dan ketersediaan prasarana sumber daya air, termasuk sistem jaringan drainase dan pengendalian banjir.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota























5. Metode Land Readjustment (LR)
Salah satu alternatif metode yang dapat dikembangkan untuk kegiatan penyusunan neraca penatagunaan tanah adalah metode penyesuaian batas-batas kepemilikan tanah (land readjustment) yang dilakukan dengan menggunakan penentuan kembali batas-batas peruntukan lahan berdasarkan arahan zonasi dalam rencana tata ruang. Dengan menyesuaikan batas-batas kepemilikan tanah, selanjutnya dapat diperoleh lahan yang dikontribusikan untuk ruang publik atau prasarana kepentingan umum lainnya. Prinsip dasar dari metode ini adalah : replot – reshuffle – contribution (penyesuaian batas tanah – penyesuaian lokasi – kontribusi lahan).

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota














Metode LR telah sukses diterapkan di Jepang dan Jerman, diikuti oleh Korea, Taiwan, dan Thailand, dan telah diujicobakan pada beberapa lokasi di Amerika, Asia, hingga Eropah. Beberapa varian yang lebih sederhana dari LR adalah land consolidation (Taiwan dan Indonesia), land banking (Australia), dan sebagainya.



Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota











6. Teknik Replotting
Teknik replotting adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki dalam penyusunan neraca penatagunaan tanah, karena akan mengalokasikan peruntukan ruang untuk berbagai jenis aktivitas pemanfaatan ruang.
Teknik replotting dalam metode LR memperhatikan sepenuhnya kaidah-kaidah penataan ruang, khususnya aspek perubahan nilai lahan. Dalam teknik replotting ini dilakukan penilaian lokasi serta aspek eksternalitasnya, penerapan standar dan model perencanaan, proporsi peruntukan lahan, serta suatu arahan untuk penyediaan ruang publik.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota






7. Teknik Reshuffle
Dari hasil teknik replotting selanjutnya dapat dirancang batas-batas kepemilikan tanah secara rapi dan bentuk-bentuk persil yang lebih teratur dengan menggunakan teknik reshuffle. Teknik reshuffle memiliki pengertian realokasi batas-batas kepemilikan dan bentuk persil berdasarkan perubahan nilai lahan secara berkeadilan. Perubahan nilai lahan ini disesuaikan dengan jenis-jenis peruntukan dalam pemanfaatan ruang, berdasarkan kondisi awal sebelum pelaksanaan program.


8. Kontribusi Lahan
Proporsi ideal penyediaan ruang publik adalah minimal 30% dari suatu luasan kawasan. Bila 20% di antaranya adalah untuk ruang terbuka hijau publik, maka masih terdapat sekurangnya 10% untuk prasarana kepentingan umum lainnya, seperti jalan, saluran air, dan sebagainya.

Untuk memperoleh luasan ruang publik yang disyaratkan hingga saat ini masih menjadi masalah, mengingat selama ini aspek penyediaan lahan tersebut seakanakan masih menjadi tugas pemerintah. Mengingat kemanfaatannya adalah ditujukan kepada masyarakat luas, maka selayaknya masyarakat juga menanggung beban dalam penyediaan lahan publik tersebut.

Kontribusi lahan 30% diperoleh dari lahan masyarakat, dan bila menggunakan metode LR, maka angka tersebut dapat diperoleh melalui teknik replotting dan reshuffle. Kontribusi lahan dihitung secara proporsional sesuai dengan kondisi asal dan perubahan nilai lahan untuk setiap persil. Dengan demikian sebenarnya pemilik tanah tidak akan dirugikan walaupun telah mengkontribusikan sebagian lahannya, karena mendapatkan keuntungan dari peningkatan nilai lahannya.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota

















9. Prasyarat Neraca Penatagunaan Tanah
Untuk melaksanakan suatu program neraca penatagunaan tanah pada suatu kawasan, diperlukan prasyarat : suatu perkiraan terjadinya peningkatan nilai lahan sekurangnya 150% setelah pelaksanaan program, sehingga rasio ini layak untuk mendapatkan kontribusi lahan. Berdasarkan perhitungan tertentu dari perubahan nilai lahan selanjutnya dapat dialokasikan sekurangnya 30% ruang publik pada kawasan tersebut.

Peningkatan nilai lahan secara drastis dapat ditimbulkan oleh :
- Pelaksanaan suatu program pembangunan oleh pemangku kepentingan pada kawasan tersebut, seperti misalnya pembangunan jalan, rumah sakit, pintu exit mass rapid transportation, dan sebagainya.
- Reklamasi atau pemulihan suatu kawasan dengan kualitas lahan rendah, seperti kawasan rawa, kawasan pasca bencana, dan sebagainya.
- Efek economic boom dari suatu kawasan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi, seperti pusat perniagaan, kawasan pariwisata, sentra industri, dan sebagainya.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota
















10. Iklim bagi Penyusunan Neraca Penatagunaan Tanah
Program penyusunan neraca penatagunaan tanah dapat dilakukan pada suatu kawasan dengan luasan sekitar 100 Ha, sehingga kegiatan replot dan reshuffle untuk mencapai target 30% ruang publik akan lebih leluasa untuk dilakukan.
Proporsi 20% ruang terbuka hijau publik bisa dikurangi bila selisih proporsi itu telah teralokasi pada kawasan lain di luar kawasan yang diprogramkan. Lingkup kawasan yang diprogramkan dapat diarahkan melalui RUTRK, RDTRK, atau Peraturan Zonasi; sehingga RUTRK, RDTRK, dan Peraturan Zonasi seharusnya telah mengindikasikan kawasan-kawasan yang akan diprogramkan untuk dilaksanakan neraca penatagunaan tanah.

Kontribusi 30% dari pemilik lahan dapat dikonversikan dengan nilai program pembangunan oleh Pemerintah, seperti pembangunan jalan dan sebagainya. Dalam beberapa hal perlu pengaturan lebih lanjut untuk menempatkan program pembangunan Pemerintah ini sebagai salah satu bentuk subsidi.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota


















Sumber: Modul Zonasi, Materi Pelatihan Tim Teknis Tata Ruang Departemen Pekerjaan Umum, 2008 (oleh : ‐ekadj dan Hardwn)

TERMINAL

PENDEKATAN

Terminal Bis adalah tempat sekumpulan bis mengakhiri dan mengawali lintasan operasionalnya. Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka pada bangunan terminal penumpang dapat mengakhiri perjalanannya, atau memulai perjalananya atau juga dapat menyambung perjalanannya dengan mengganti (transfer) lintasan bis lainnya. Di lain pihak, bagi pengemudi bis, maka bangunan terminal adalah tempat untuk memulai perjalanannya, mengakhiri perjalannya dan juga sebagai tempat bagi kendaraan beristirahat sejenak, yang selanjutnya dapat digunakan juga kesempatan tersebut untuk perawatan ringan ataupun pengecekan mesin.



Ditinjau dari sistem jaringan rute secara keseluruhan, maka terminal bis merupakan simpul utama dalam jaringan, yang dalam jaringan ini sekumpulan lintasan rute bertemu. Dengan demikian, terminal bis merupakan komponen utama dari jaringan yang mempunyai peran yang cukup signifikan. Karena kelancaran yang ada pada terminal akan mempengaruhi efisiensi dan efektifitas sistem angkutan umum secara keseluruhan.




Kebutuhan dan penentuan lokasi sub terminal ditentukan sesuai dengan perkembangan dan distribusi permintaan angkutan umum. Untuk efisiensi penggunaan dana pembangunan sub terminal, maka penentuan prioritas dan pentahapan pembangunan perlu dilakukan. Penentuan kebutuhan dan lokasi sub terminal tentu mempertimbangkan rencana pengembangan tata ruang, jaringan jalan (termasuk pembangunan jalan lingkar utara dan lokasi terminal tipe A yang ada saat ini.

FUNGSI TERMINAL

Jika kita amati suatu sistem terminal bis, maka kita akan melihat pada sistem tersebut terdapat sekumpulan komponen yang saling berinteraksi satu dengan lainnya.

Komponen-komponen yang dimaksud meliputi :
• Bis
• Penumpang
• Calon Penumpang yang diantar (kiss & ride)
• Calon penumpang yang membawa kendaraan sendiri dan memarkir kendaraannya (park & ride)
• Pejalan kaki

a. Bis
Dari lintasan rutenya, bis datang di terminal, kemudian menurunkan penumpang penumpangnya. Setelah menunggu beberapa lama (tergantung pada jadwal), selanjutnya bis menaikkan penumpangnya kemudian pergi kembali menelusuri lintasan rutenya. Terkadang, dengan alasan tertentu, bis terpaksa harus diperbaiki atau dilakukan perawalan kecil, seperti mengganti ban, mengganti busi ataupun penyetelan mesin. Untuk bis-bis yang harus berangkat dari terminal di pagi hari, maka bis harus menginap di tempat penyimpanan khusus.

Dengan demikian, bagi bis fungsi terminal adalah ;
• Tempat bis dapat berhenti
• Tempat bis menurunkan penumpang
• Tempat bis menaikkan penumpang
• Tempat bis mendapat perawatan kecil
• Tempat bis disimpan untuk sementara

b. Penumpang
Untuk penumpang, kegiatan di terminal dimulai dengan datangnya penumpang, baik datang dengan bis ataupun datang dengan sarana lainnya. Sesampainya diterminal, maka penumpang turun dari bis. Jika ingin meneruskan perjalannya maka penumpang tersebut harus berganti bis dengan lintasan rute yang sesuai dengan arah perjalanannya. Sedangkan jika penumpang ingin mengakhiri perjalanannya dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kendaraan lain, maka dia keluar dari terminal. Jika dia ingin berpindah pada lintasan rute yang lain, dia harus membeli tiket dan menunggu kedatangan bis yang diperlukannya. Setelah itu, ketika bis yang dinanti datang, dia naik ke dalam bis dan akhimya bis meninggalkan terminal.

Dengan demikian, maka fungsi terminal bagi seorang penumpang adalah :
• Tempat penumpang turun dan mengakhiri perjalanan dengan bis
• Tempat penumpang dapat berganti lintasan rute (transfer)
• Tempat penumpang menunggu bis yang akan dinaikinya
• Tempat penumpang naik bis
• Tempat penumpang berganti dengan moda lainnya (becak, mobil atau berjalan kaki) menuju tujuan akhir perjalanannya.

c. Kiss & Ride
Bagi calon penumpang yang diantar dengan kendaraan oleh orang lain, maka ketika sampai di terminal, dia segera turun untuk segera membeli tiket sesuai dengan lintasan, rute dan arah yang dituju. Selanjutnya dia menuju ke platform di mana bis yang dimaksud berada, dan menunggu beberapa saat sampai bis dimaksud datang Selanjutnya dia naik ke bis dan bersama bis pergi dari terminal.

Dengan demikian bagi calon penumpang tipe Kiss & Ride, fungsi terminal adalah :
• Tempat dia turun dari kendaraan penghantar
• Tempat kendaraan penghantar datang dan langsung pergi
• Tempat dapat membeli tiket
• Tempat dia harus menunggu
• Tempat dia naik bis dan memulai perjalannya

d. Park & Ride
Bagi calon penumpang yang menggunakan kendaraan pribadi ke terminal, maka pada saat di terminal dia memarkir kendaraannya dan masuk ke terminal untuk membeli tiket, sesuai dengan lintasan rute dan tujuannya. Selanjutnya dia menuju ke platform di mana bis yang dimaksud berada, dan menunggu beberapa saat sampai bis dimaksud datang. Kemudian dia naik ke bis dan bersama bis pergi dari terminal.

Dengan demikian, bagi calon penumpang jenis Park & Ride, fungsi terminal adalah :
• Tempat kendaraannya dapat diparkir selama dia melakukan perjalanan
• Tempat membeli tiket
• Tempat dia harus menunggu
• Tempat naik bis dan memulai perjalannya.
• Tempat dia mengakhiri perjalannya dengan bis untuk kemudian menggunakan kendaraan yang diparkir untuk pulang ke rumah

e. Pejalan Kaki
Bagi seorang pejalan kaki yang ingin menggunakan bis untuk perjalannnya, dia harus datang ke terminal dengan berjalan kaki. Sesampainya di terminal dia membeli tiket, sesuai dengan lintasan rute dan tujuannya. Selanjutnya dia menuju ke platform di mana bis yang dimaksud berada, dan menunggu beberapa saat sampai bis dimaksud datang. Kemudian dia naik ke bis dan bersama bis pergi dari terminal.

Dengan demikian, bagi calon penumpang pejalan kaki, fungsi terminal adalah :
• Tempat membeli tiket
• Tempat dia harus menunggu
• Tempat dia naik bis dan memulai perjalannya.
• Tempat dia mengakhiri perjalannya dengan bis untuk kemudian menggunakan kendaraan yang diparkir untuk pulang ke rumah.

Jika kesemua komponen di atas memang diakomodasi dalam sebuah terminal maka mekanisme yang ada secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 3.2.
Tapi perlu diingat bahwa suatu terminal tidak selamanya berfungsi untuk mengantisipasi kelima komponen di atas. Pada beberapa kasus, hanya dua atau tiga komponen saja yang dilayani, misalnya pada terminal kecil di mana hanya menampung komponen bis, penumpang dan Kiss &. ride.




g. Tempat Henti (Shelter)


Tempat henti di perlukan keberadaannya disepanjang rute angkutan umum agar gangguan terhadap lalu lintas dapat diminimalkan, oleh sebab itu tempat pemberhentian angkutan umum harus diatur tempatannya sesuai dengan kebutuhan.

Pengertian
1. Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU) terdiri dari Halte dan Tempat Pemberhentian Bis.
2. Halte adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan dan/atau menaikkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan.
3. Tempat Pemberhentian Bis (bis stop) adalah tempat untuk menurunkan dan/atau menaikkan penumpang yang selanjutnya disebut TPB.
4. Teluk Bis (Bis Bay) adalah bagian perkerasan jalan tertentu, yang diperlebar dan diperuntuk-kan sebagai TPKPU.
5. Waktu pengisian adalah waktu yang diperlukan untuk naik/turun penumpang yang dihitung dari saat kendaraan berhenti sampai dengan penumpang terakhir yang naik atau turun ;
6. Waktu pengosongan teluk bis adalah waktu yang dihitung dari penumpang terakhir yang turun atau naik sampai dengan kendaraan mulai bergerak.

Tujuan Perekayasaan Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum adalah
1. Menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas.
2. Menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan penumpang umum.
3. Kepastian keselamatan untuk menaikkan dan / atau menurunkan penumpang.
4. Untuk kemudahan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum atau Bis.

Persyaratan umum adalah
1. Berada disepanjang rute angkutan umum / bis.
2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat dengan fasilitas pejalan kaki.
3. Diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau pemukiman.
4. Dilengkapi dengan Rambu Petunjuk.
5. Tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas.

Jenis Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum
1. Halte
2. Tempat Pernberhentian Bis (TPB)

Fasilitas Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU)

1. Fasilitas utama

a. Untuk Halte
• Identitas Halte berupa Nama dan / atau Nomor.
• Rambu Petunjuk.
• Papan Informasi Trayek.
• Lampu Penerangan.
• Tempat Duduk.

b. Untuk TPB
• Rambu Petunjuk.
• Papan Informasi Trayek.
• ldentifikasi TPB berupa nama dan / atau nomor.

2. Fasilitas Tambahan
• Telepon Umum.
• Tempat Sampah.
• Pagar.
• Papan Iklan / Pengumuman.
Pada persimpangan, penempatan fasilitas tambahan ini tidak boleh mengganggu ruang bebas pandang.



Untuk menentukan jumlah kebutuhan teluk bis apakah tunggal, rangkap dua atau tiga, dipakai patokan umum bahwa sebuah teluk bis tunggal dapat melayani 40 buah bis dalam waktu satu jam. Selain itu juga didasarkan pada hitungan dengan persamaan.

N = jumlah teluk bis
P = jumlah penumpang maksimal menunggu di halte (orang/jam)
S = kapasitas angkutan umum (orang/kendaraan)
B = waktu pengisian / Boarding Time (detik)
C = waktu pengosongan teluk bis / Clearance Time (detik).

Tata letak Halte dan / atau TPB terhadap ruang lalu lintas :

1. Jarak maksimal terhadap fasilitas penyeberangan pejalan kaki adalah 100 meter ;
2. Jarak minimal halte dari persimpangan adalah 50 meter atau tergantung dari panjang antrian .
3. Jarak minimal dari suatu gedung (seperti : rumah sakit, tempat ibadah) yang membutuhkan ketenangan adalah 100 meter .
4. Peletakan, di persimpangan menganut sistem campuran yaitu antara sesudah persimpangan (farside) dan sebelum persimpangan (nearside).

PERENCANAAN SUB TERMINAL

Seperti telah dikatakan sebelumnya, ditinjau dari sistem jaringan rute angkutan umum secara keseluruhan, fungsi terminal sangatlah signifikan, karena pada terminallah terjadi interaksi antar lintasan rute dan pada terminal pula terjadi interaksi antara penumpang dan lintasan rute. Karenanya efektifitas dan efisiensi sistem transportasi dalam suatu jaringan lintasan rute sangat dipengaruhi oleh performansi dari terminal-terminalnya. Untuk itulah, maka perencanaan terminal yang baik merupakan prasyarat agar diperoleh suatu terminal yang berfungsi secara efektif dan efisien dalam mengantisipasi kebutuhan pergerakan.

Dalam merencanakan suatu terminal, sangat penting untuk mengetahui secara rinci fungsi dari terminal, baik fungsi ditinjau dari sistem jaringan rute secara keseluruhan, maupun fungsi ditinjau dari aktifitas maupun mekanisme yang ada di dalam terminal. Selanjutnya aspek lainnya yang perlu diketahui adalah intensitas dari pergerakan yang harus diantisipasi. Karena terminal pada dasarnya dibangun dalam usaha untuk mengatisipasi aktifitas maupun mekanisme pergerakan yang ada dengan tingkat intensitas tertentu.

Komponen Prasarana Terminal Bis

Komponen prasarana transportasi yang seharusnya ada pada sebuah terminal adalah disesuaikan dengan fungsi terminal yang ingin dicanangkan. Karena pada dasarnya komponen prasarana yang disediakan dalam sebuah terminal dimaksudkan untuk mengantisipasi ataupun melayani mekanisme pergerakan yang mungkin muncul.

Ditinjau dari mekanisme pergerakan yang mungkin timbul dari sebuah terminal, maka gambar pergerakan diatas dapat dijadikan sebagai dasar dari suatu mekanisme pergerakan yang paling lengkap yang mungkin ada dalam sebuah terminal. Dari gambar tersebut jelas bahwa prasarana yang harus disediakan adalah sedemikian sehingga mampu mengantisipasi pelayanan ataupun pergerakan seperti yang dijelaskan pada Tabel berikut:



Kriteria Perencanaan


Dalam perencanaan terminal bis kriteria utama yang diterapkan adalah :

• Terminal yang dimaksud hendaknya dapat mengantisipasi pergerakan pejalan kaki (pedestrian), yaitu mudah dicapai dari daerah sekitarnya.
• Terminal yang dimaksud hendaknya dapat mengantisipasi sirkulasi pergerakan bis secara efektif dan efisien.
• Terminal yang dimaksud hendaknya dapat mengantisipasi kebutuhan transfer secara cepat dan mudah.
• Terminal yang dimaksud hendaknya mampu mengantisipasi pergerakan kiss & ride secara mudah dan cepat
• Terminal yang dimaksud hendaknya membuat penumpang merasa nyaman dan aman, baik untuk kegiatan naik ke bis, turun dari bis maupun transfer antar lintasan bis
• Terminal yang dimaksud hendaknya adalah sedemikian sehingga bis dapat menaikturunkan penumpang secara mudah dan cepat.
• Terminal yang dimaksud hendaknya sekecil mungkin mempengaruhi kondisi lalu lintas pada jaringan jalan di sekitarnya.

Tahapan Perencanaan

Secara umum, tahapan dasar dari suatu perencanaan terminal terdiri dari dua, yaitu :
• Penentuan lokasi terminal
• Perencanaan tata-letak dan desain komponen terminal

Penentuan lokasi terminal biasanya dilakukan pada tahapan studi kelayakan, keluaran yang dihasilkan meliputi : lokasi terpilih, preliminary design, tingkat kelayakan dan studi analisis dampak lalu lintas. Sedangkan perencanaan tata-letak dan desain rinci dilakukan pada tahapan Final Engineering Design, output yang dihasilkan meliputi : gambar perencanaan, spesifikasi, bill & quantity dan estimasi biaya,

a. Penentuan Lokasi Terminal

Studi penentuan lokasi terminal merupakan tahapan yang cukup penting dalam perencanaan terminal, karena terminal yang baik adalah terminal yang secara sistem jaringan mampu berperan dalam melancarkan pergerakan sistem transportasi secara keseluruhan. Dengan demikian, maka letak terminal sangatlah berperan, terutama dalam kaitannya dengan peran yang disandang oleh terminal bersangkutan dalam sistem jaringan rute ataupun keberadaan terminal tersebut dalam sistem prasarana jaringan jalan.

Dalam penentuan lokasi terminal, aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian adalah :
• Tipe terminal yang akan dibangun
• Komponen pergerakan yang akan dilayani (loading, unloading, transfer, kiss & ride, park & ride dll)
• Tipe lintasan rute yang akan dilayani (trunk routes, collector routes atau local routes)
• Jumlah lintasan rute yang akan dilayani.
• Kondisi dan karakteristik tata-guna tanah pada daerah sekitar terminal
• kondisi dan karakteristik prasarana jaringan jalan
• Kondisi dan karakteristik lalu-lintas pada jaringan jalan di sekitar lokasi terminal

Lintasan rute angkutan umum perlu dipertimbangkan, hal ini akan terkait dengan distribusi perge-rakan pengguna angkutan umum. Pola lintasan rute yang baik diharapkan menghasilkan pelayanan yang baik, dalam arti menghubungkan asal dan tujuan perjalanan pengguna angkutan umum dengan jarak yang sesingkat mungkin, menjangkau semua wilayah secara merata sesuai dengan distribusi permintaan angkutan umum, menghasilkan perjalanan dengan minimal tranfer. Secara umum dike-nal beberapa bentuk pola trayek angkutan umum sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini. Ada empat pola rute angkutan umum, yaitu : radial criss-croos, trunk line with feeders, grid, radial.



Sedangkan tahapan yang perlu dilakukan dalam penentuan lokasi terminal adalah :

1. Identifikasikan tipe terminal yang akan dibangun.

2. Estimasikan kebutuhan luasan lahan yang diperlukan. Estimasi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan prakiraan jumlah lintasan bis yang akan dilayani. Selanjutnya diestimasikan secara lebih rinci jumlah bis dan jumlah penumpang per hari yang akan diiayani. Dari data-data tersebut dapat diestimasi luas lahan yang diperlukan untuk masing-masing komponen prasarana terminal.

3. Dari gambar peta jaringan lintasan rute eksisting, identifikasikan beberapa alternatif lokasi terminal didasarkan jumlah dan jenis lintasan yang mungkin dilayani dan luasan lahan yang dibutuhkan. Indikasi iokasi terminal dapat ditentukan berdasarkan simpul-simpul jaringan yang mungkin terbeniuk dari peta jaringan lintasan rute.

4. Selanjutnya untuk masing-masing alternatif lokasi terminal,
lakukan hal-hal berikut ini :
• Identifikasikan kondisi dan karakteristik tata-guna tanah dari lokasi dimaksud.
• Cek luasan lahan yang mungkin tersedia.
• Estimasikan luas dan harga lahan yang dapat dibebaskan.
• Identifikasi karakteristik dan kondisi jaringan jalan yang ada di sekitar lokasi terminal.
• Identifikasikan karakteristik dan kondisi lalu-lintas yang ada pada jaringan jalan.
• Estimasikan secara kasar besarnya dan karakteristik lalu-lintas yang akan dibangkitkan oleh terminal dimaksud. Lalu-lintas yang dimaksud dapat berupa lalu-lintas bis ataupun lalu-lintas yang dihasilkan oleh penumpang (untuk penumpang park & ride ataupun kiss & ride).
• Identifikasikan sistem sirkulasi keluar-masuk bis dan kendaraan lain dari dan ke jaringan jalan di sekitar lokasi terminal.
• Lakukan traffic assignment dari volume lalu-lintas yang dibangkitkan pada jaringan jalan yang ada di sekitar lokasi. Cek kondisi dan karakteristik lalu-lintas yang dihasilkan akibat adanya terminal terhadap jaringan jalan sekitar.
• Identifikasikan titik-titik mana dalam jaringan jalan sekitar yang diperkirakan rawan terhadap kemacetan ataupun gangguan lalu-lintas. Berikan beberapa solusi yang dimungkinkan untuk mengantisipasi permasalahan yang ada.

5. Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua alternatif. Tentukan alternatif terbaik berdasarkan kriteria tertentu.

b. Perencanaan Tata-letak dan desain komponen prasarana terminal

Jika lokasi terminal telah ditentukan pada tahap sebelumnya, ataupun telah ditentukan karena alasan lainnya, maka pada lokasi dimaksud perlu dilakukan perencanaan rinci, yang meliputi perencanaan tata-letak dan perencanaan komponen-komponen prasarana.

Hal terpenting dari kedua aspek di atas adalah perencanaan tata letak, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektifitas sistem terminal secara keseluruhan.

Suatu sistem tata letak yang baik adalah sistem tata-letak yang menghasilkan situasi terminal di mana :
• Interaksi antara satu lintasan bis dengan lintasan bis lainnya dapat dilakukan dengan baik, sehingga penumpang yang ingin melakukan transfer dapat dengan mudah melakukan.
• Interaksi antara lalu lintas bis yang keluar / masuk terminal dengan lalu lintas yang ada di daerah sekitarnya dapat dilakukan dengan baik , sehingga tidak menyebabkan gangguan yang signifikan bagi kelancaran lalu lintas ataupun kelancaran lalu lintas bis itu sendiri.
• Interaksi antara penumpang dengan bis dapat dilakukan dengan mudah , sehingga penumpang yang datang ke terminal dengan moda apapun (berjalan kaki , kiss n’ ride , atau park n’ ride ) dapat dengan mudah mencari lintasan bis yang diinginkan dan penumpang yang baru turun dari bis dapat dengan mudah keluar dan melanjutkan perjalanannya dengan moda lain.
• Sirkulasi bis dapat dilakukan secara efektif dan efisien tanpa harus menyebabkan bis mengalami tundaan yang berlebihan.
• Sirkulasi pejalan kaki (pedestrian) dapat dilakukan secara efektif dan efisien tanpa harus menyebabkan pejalan kaki berputar – putar.
• Sirkulasi kendaraan pribadi atau kendaraan lain non bis yang keluar / masuk terminal dapat dilakukan dengan efektif dan efisien , sehingga tidak menyebabkan tundaan ataupun gangguan pada lalu lintas lainnya.

Untuk menghasilkan sistem tata letak yang baik, maka komponen prasarana terminal yang harus mendapat perhatian utama adalah :
• Jalur masuk dan keluar untuk bis
• Ramp untuk bis keluar dari atau masuk ke terminal dari jaringan jalan sekitar
• Loading bay / bis bay / berth
• Unloading platform untuk penumpang turun dari bis
• Loading queue (tempat antrian untuk naik ke bis)
• Platform untuk penumpang menunggu
• Platform untuk kiss and ride
• Areal parkir untuk kendaraan pengantar/penjemput atau kendaraan milik penumpang
• Jalur masuk dan keluar bagi kendaraan non bis
• Fasilitas pelengkap lainnya, yaitu areal khusus untuk penyimpanan bis atau perawatan bis, kios tempat penjualan tiket, papan informasi dan ruang kontrol.

Tahapan yang perlu dilakukan dalam penentuan tata letak dan desain fasilitas prasarana terminal adalah :

1. Identifikasi karakteristik dan pola pergerakan

Tujuan dari tahapan ini adalah mengidentifikasikan besaran dasar dan karakteristik dari pergerakan–pergerakan yang akan diantisipasi dalam terminal, meliputi pergerakan bis, penumpang dan kendaraan non bis.

Adapun analisis yang dilakukan meliputi :
• terminal klasifikasi dan fungsi terminal yang akan di bangun ,
• identifikasi komponen pergerakan yang akan diantisipasi
• prediksi dan estimasi banyaknya lintasan rute yang akan dilayani
• prediksi dan estimasi banyaknya penumpang yang akan dilayani untuk masing – masing lintasan rute , baik besaran rata – rata maupun untuk kondisi puncak (peak hour)
• Prediksi dan estimasi banyaknya penumpang yang akan menggunakan pola pedestrian, pola 'park & ride' dan pola 'kiss & ride'.
• Prediksi pola dan besaran arrival rate dari bis untuk masing-masing lintasan rute
• Prediksi pola dan besaran arrival rate dari calon penumpang untuk masing-masing tipe penumpang

2. Identifikasi sistem/mekanisme operasional terminal

Sasaran yang ingin dicapai pada tahap ini adalah mendapatkan beberapa alternatif dari sistem/mekanisme operasional terminal, meliputi : pola interaksi antara lintasan bis, pola interaksi antara bis dan penumpang, pola interaksi antara penumpang dan penumpang dan pola sirkulasi, baik penumpang, pejalan kaki, bis dan kendaraan lainnya.

Adapun analisis yang dilakukan meliputi :
• Tentukan banyaknya lajur bis yang diperlukan, baik untuk jalur akses maupun jalur keluar.
• Tentukan banyaknya platform/lajur bis yang diperlukan dalam terminal
• Tentukan banyak bis bay yang diperlukan
• Tentukan pola penempatan lintasan bis dalam platform/Iajur bis
• Tentukan pola dan sistem sirkulasi bis
• Tentukan pola dan sitem sirkulasi pedestrian
• Tentukan pola dan sistem sirkulasi kendaraan non-bis
• Tentukan pola penempatan/tata-letak masing-masing komponen prasarana terminal berdasarkan pola dan sistem sirkulasi yang dicanangkan di atas.

3. Evaluasi alternatif sistem operasi terminal yang terbaik

Dari semua alternatif sistem operasional terminal yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya, dilakukan evaluasi dalam usaha mendapatkan alternatif yang terbaik. Kriteria utama yang diterapkan dalam menentukan alternatif terbaik adalah efisiensi dan efektifitas pergerakan di dalam terminal dan pergerakan dari dan ke terminal.

Dalam evaluasi ini aspek-aspek yang dianalisis meliputi :
• Estimasi panjang antrian bis dan tundaan yang terbentuk pada masing-masing lajur/paltform
• Estimasi panjang antrian dan waktu tunggu rata-rata yang dirasakan penumpang pada masing-masing platform
• Estimasi panjang antrian dan tundaan rata-rata yang dirasakan kendaraan non-bis di daerah park & ride dan kiss&ride
• Estimasi waktu total transfer rata-rata yang dirasakan penumpang yang melakukan transfer
• Estimasi Biaya
Adapun metoda analisis yang digunakan adalah :
• teori antrian, dan atau
• model Simulasi

4. Tentukan dimensi rinci masing–masing komponen
Dari alternatif sistem operasional terminal yang terbaik, selanjutnya dilakukan perhitungan dan analisis untuk menentukan besaran/dimensi rinci dari masing–masing komponen prasarana terminal. Hasil yang diperoleh dari tahapan ini adalah desain rinci dari seluruh komponen prasarana terminal.

Dalam penentuan dimensi rinci dari masing–masing komponen prasarana terminal ini masukan dasar yang digunakan dalam analisis adalah :
• Pola, besaran kuantitatif dan karakteristik pergerakan dari masing–masing entities (penumpang, bis , dan kendaraan non bis )
• Standar desain yang berlaku
• Standar geometrik yang berlaku

5. Dimensi dasar komponen prasarana terminal
Dimensi dasar komponen–komponen prasarana di terminal bis sangat dipengaruhi oleh besarnya bis yang akan dilayani, kemudahan manuver, jumlah bis dan jumlah penumpang.

Secara umum, dimensi dasar dari komponen–komponen prasarana terminal bis adalah :
• Lebar Lajur Masuk / Keluar untuk Bis
Lajur dengan lebar 3.5 m dapat digunakan untuk bis dengan lebar 2.8 m
• Lebar Lajur Bis dalam terminal
Dimensi dasar untuk lajur bis dalam terminal hendaknya dua kali lajur bis biasa , atau cukup untuk menampung 2 bis sekaligus, baik untuk manuver maupun penyimpanan bis sementara. Untuk lajur bis yang terletak di daerah unloading platform , lebar lajur bis dibuat untuk cukup menampung dua bis, agar bis yang sudah kosong dapat segera pergi, tanpa harus menunggu bis yang di depannya, yang sedang menurunkan penumpang.
• Clearance untuk memutar
Clearance (ruang bebas) yang disediakan untuk manuver bis dari lajur bis di terminal ke lajur bis untuk keluar hendaknya dibuat dengan memperhatikan ukuran maksimum bis . Maksudnya agar bis dapat berputar dengan mudah.

MORFOLOGI KAMPUNG PEDESAAN

Suatu abstraksi fakta empirik kajian kontekstual lingkungan
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Merdeka Malang
Paparan ini merupakan suatu abstraksi dari kenyataan empirik di "pedesaan" atau pemukiman desa yang sangat "kontekstual" dengan lingkungan alamnya. Fakta-fakta ini merupakan bagian dari kajian yang sedang pemapar lakukan tentang morfologi kampung pedesaan. Fakta ini dibagi menjadi 4 kelompok; (a) kampung di pesisir pantai , (b) kampung di sepanjang sungai, (c) kampung di lingkungan pedalaman (pertanian), dan (d) kampung di pedalaman (lereng gunung). 



Paparan ini merupakan hasil studi awal yang belum diungkap tentang kesimpulan kajian morfologi kampung pedesaan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi latarbelakang sosial-budaya dan ekonomi masyarakat tidak kami paparkan disini, yang secara signifikan juga berperan menentukan pola morfologi kampung pedesaan. 


a.      Kampung di pesisir pantai 
Pola pemukiman terbentuk karena adanya potensi dan kendala lingkungan. Pantai landai dengan arus/ombak tenang akan lebih dominan dipakai sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam.
Struktur fisik lingkungan dominan berperan sebagai lokasi.

b.      Kampung di sepanjang sungai 
Pola perkampungan di sepanjang sungai di pedesaan yang menggunakan sungai sebagai prasarana transportasi, mempunyai kencenderungan pola yang linier dengan orientasi mengikuti pola aliran sungai.
Efektifitas pencapaian sarana transportasi menjadi faktor dominan. Alat transport sungai sebagai sarana transport utama mempengaruhi pola hunian, yang menuntut kemudahan moda angkutan (perahu) sampai ke sampaing rumah.
Pola diatas menunjukkan adanya pola curva linier di sepanjang sungai dan mengumpul pada daerah "dalam". Pola ini didapati pada lingkungan dengan aktifitas penduduk sebagai petani garam di daerah dekat dengan pesisir pantai.

c.      Kampung di lingkungan pedalaman (pertanian)
Aktifitas pertanian sawah, atau ladang mempunyai pola yang spesifik sesuai dengan kondisi lingkungan dan topografinya. Kendala-kendala lingkungan mampu menjadikan perkampungan pedesaan ini terlihat menyatu dengan lingkungan, suatu pertimbangan arif dalam mengelola lingkungan.
Pada radius "tertentu" satu kelompok hunian membentuk satu komuniti yang "harmonis". Pertimbangan jangkauan pengawasan area garapan mereka menentukan pengelompokan ini . Jumlah kelompok hunian ini + 30 keluarga suatu "kelompok" yang memungkinkan mempertahankan unity dalam bersosialisasi, merupakan kelompok komunitas yang solid.

d.      Kampung di pedalaman (lereng gunung) 
Pola morfologi kampung di daerah ini sangat erat kaitannya dengan upaya pengelolaan area matapencaharian penduduk sebagai petani (salah satu kasus). Teknologi teracering untuk pengelolaan saluran irigasi dan pengelolaan pertanian mempengaruhi bentuk-bentuk pengolahan lahan perumahannya. Merupakan pemecahan lahan yang kontekstual dengan memunculkan vista pemukiman pedesaan di pegunungan yang selaras.
Salah satu aspek pendekatan kontekstual terhadap lingkungan yang secara "sadar" (tradisi turun menurun) telah menciptakan kondisi lingkungan pemukiman pedesaan yang "sesuai" dengan pola perilaku sosial-budaya dan ekonomi melalui pengolahan lingkungan hidupnya. Ini yang kadang tidak diperhatikan oleh sementara pengembang dalam menciptakan kota-kota baru pada lahan yang relatif luas, dengan pendekatan yang non-kontekstual lingkungan bahkan menghancurkan potensi-potensi lingkungan. Semoga menjadi bahan renungan....(res,1999)

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN

Sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang, RTRW Kabupaten berisi tentang:
- Tujuan penataan ruang kabupaten, kebijakan dan strategi pengembangan wilayah kabupaten;
- Rencana struktur ruang kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten;
- Rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten;
- Penetapan kawasan strategis kabupaten;
- Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
- Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.



1. TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI
A. TUJUAN
- Penekanan pada perwujudan ruang wilayah kabupaten yang diinginkan dimasa mendatang.
- Memberikan arahan pada semua program yang ada dalam RTRW serta lingkup sasarannya.
- Sebagai dasar untuk memformulasikan kebijakan dan strategi.

B. KEBIJAKAN
- Disusun dalam rangka mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabuapten yang meliputi kebijakan terhadap struktur ruang, pola ruang, penetapan kawasan strategis kabupaten, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.

C. STRATEGI
- Langkah-langkah yang lebih nyata sebagai penjabaran dari kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten, yang meliputi: kebijakan terhadap struktur ruang, pola ruang, penetapan kawasan strategis kabupaten, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.


2. RENCANA STRUKTUR RUANG
A. SISTEM PERKOTAAN DAN SISTEM PERDESAAN
- Sistem Perdesaan menggambarkan sistem pemusatan kegiatan, cakupan pelayanan, dan keterkaitan kegiatan-kegiatan utama pada kawasan perdesaan.
- Sistem Perkotaan dalam wilayah kabupaten menunjukan keterkaitan antar pusat pelayanan wilayah maupun pusat permukiman perkotaan (kawasan perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat secara serasi dan saling memperkuat).

B. RENCANA HIRARKI PUSAT-PUSAT PENGEMBANGAN
- Rencana Hirarki Pusat Pelayanan
- Rencana Fungsi Pusat-Pusat Pelayanan
- Rencana Sistem Prasarana Wilayah
1. Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana transportasi (transportasi darat, laut dan udara)
2. Rencana Prasarana Telematika (prasarana telekomunikasi dan informatika)
3. Rencana sistem prasarana pengairan (air baku untuk domestik dan industri serta pengemb. pertanian)
4. Rencana sistem jaringan prasarana energi (kelistrikan dan migas)
5. Rencana sistem prasarana lingkungan (persampahan dan air limbah)

3. RENCANA POLA RUANG
A. RENCANA PENETAPAN KAWASAN LINDUNG
- Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya (hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air.
- Kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, kws sekitar danau/waduk, kws sekitar rmata air, RTH termasuk hutan kota)
- Kawasan suaka alam (cagar alam, suaka margasatwa)
- Kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya)
- Kawasan rawan bencana alam (letusan gunung api, rawan gempa bumui, rawan tanah longsor, rawan gelombang pasang dan banjir)
- Kawasan lindung lainnya (taman buru, cagar biosfer, perlindungan plasma nutfah, pengungsian satwa, terumbu karang dll)

B. PELESTARIAN KAWASAN LINDUNG
- Mengembalikan dan melesatrikan fungsi lindung sesuai dengan kepentingan masing-masing

C. RENCANA PENGEMBANGAN KAWASAN BUDIDAYA
- Kawasan hutan produksi
- Kawasan pertanian
- Kawasan pertambangan
- Kawasan peruntukkan industri
- Kawasan Pariwisata
- Kawasan Permukiman

D. RENCANA PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
- Indikasi terkait dengan ekosistem pesisir dan kawasan lindung dan budidaya yang ada di pesisir.

E. RENCANA PENGELOLAAN KAWASAN
- Pengelolaan kawasan hutan lindung
- Pengelolaan kawasan budidaya

4. PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN
Dapat berupa:
1. Kawasan strategis pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan kawasan latihan militer)
2. Kawasan strategis pengembangan kawasan ekonomi (KEK, FTZ)
3. Kawasan strategis sosial budaya (kws. Adat tertentu atau kawasan konservasi warisan budaya)
4. Kawasan strategis pendayagunaan sumberdaya alam dan/atau teknologi
(kws. Pertambangan minyak dan gas bumi, serta kawasan yang menjadi lokasi instalasi tenaga nuklir)
5. Kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
(kws. Perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, seperti kawasan warisan dunia : Kebun Raya Bogor)

5. ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
Penentuan prioritas pembangunan wilayah kabupaten ditinjau dari kebutuhan pembangunan wilayah, sarana dan prasarana prioritas, ketersediaan dana, komponen kawasan utama dengan fungsi multiplier effect, penduduk pendukung, serta arahan pembangunan dalam mewujudkan rencana tata ruang melalui pola penatagunaan tanah, air dan udara, usulan program utama pembangunan, perkiraan dana, dan sumber dana pembangunan, instansi pelaksana, waktu dan tahap pelaksanaan.
Berupa:
- Indikasi program utama
- Perkiraan pendanaan
- Intansi pelaksana
- Waktu dan Tahapan pelaksanaan

6. KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
A. KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI
Materi yang diatur : peraturan zonasi yang terdapat di RDTRK dan RTR Kawasan Strategis Kabupaten.

B. KETENTUAN PERIZINAN
Materi yang diatur : perizinan yang terkait tentang izin pemanfaatan ruang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang

C. KETENTUAN INSENTIF DAN DISINSENTIF
Materi yang diatur : strategi pengembangan kawasan agar sesuai dengan RTR

D. ARAHAN SANKSI
Materi yang diatur : sanksi terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTR dan peraturan zonasi

Indek Istilah PWK - UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.



4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.

7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.

10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.

19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.

20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.

21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.

25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.

28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

32. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.



Sumber: Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang

Senin, 07 Maret 2011

ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS

Oleh : Ir. Tri Cahyono MSc, Dosen Fakultas Teknik UI
Keterkaitan Antara Sistem Transportasi dan Pengembangan Lahan.
Sistem transportasi dan pengembangan lahan (land development) saling kait mengkait. Di dalam sistem transportasi, tujuan dari perencanaan adalah menyediakan fasilitas untuk pergerakan penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain atau dari berbagai pemanfaatan lahan. Sedangkan di sisi pengembangan lahan, tujuan dari perencanaan adalah untuk tercapainya fungsi bangunan dan harus menguntungkan. Acapkali kedua tujuan tersebut menimbulkan konflik. Hal inilah yang menjadi asumsi mendasar dari analisis dampak lalu lintas untuk menjembatani kedua tujuan di atas, atau dengan kata lain: Proses perencanaan transportasi dan pengembangan lahan mengikat satu sama lainnya. Pengembangan lahan tidak akan terjadi tanpa sistem transportasi, sedangkan sistem transportasi tidak mungkin disediakan apabila tidak melayani kepentingan ekonomi atau aktivitas pembangunan.

Hubungan antara Fasilitas Transportasi dan Perubahan Tata Guna Lahan
Hubungan antara fasilitas transportasi dengan pengembangan lahan secara skematik dapat dilihat pada gambar 1.1.
clip_image001
Gambar 1.1

Hubungan ini memperlihatkan bahwa setiap upaya peningkatan fasilitas transportasi akan berdampak terhadap perubahan tataguna lahan apabila tidak ada upaya pengendalian. Pengendalian ini sangat penting agar upaya peningkatan fasilitas transportasi dapat bermanfaat dan berdayaguna seoptimal mungkin. Aksesibilitas memegang peran penting bagi para pengembang lahan. Acapkali justru para pengembang lahan yang menciptakan aksesibilitas ke lokasi yang dikembangkan agar kepentingan investasi dapat terwujud. Pembatasan yang kaku terhadap perubahan tataguna lahan akan sulit dilakukan mengingat sifat manusia dan kota yang dinamis. Untuk ini suatu keseimbangan antara perubahan tataguna lahan dan fasilitas transportasi perlu dilakukan. Gambar 1.2 memperlihatkan ilustrasi upaya penyeimbangan tataguna lahan dengan fasilitas transportasi.
Gambar 1.2.
clip_image003
Beberapa hal yang mempengaruhi perubahan lahan antara lain sebagai berikut :


  • Kebijaksanaan pemerintah baik tingkat nasional maupun daerah


  • Perubahan pendapatan keluarga        


  • Perubahan preferensi keluarga dan keinginan-keinginan individual


  • Teknologi transportasi dan struktur biaya transportasi


  • Perubahan sistem transportasi


  • Tingkat pelayanan yang disediakan oleh sistem transportasi
Perencanaan Transportasi Kota Versus Perencanaan Tapak
Perencanaan transportasi kota secara tradisional mengidentifikasi kebutuhan transportasi dari suatu pola tata guna lahan yang ada dan yang direncanakan pada masa datang. Berdasarkan basis tata guna lahan, maka melalui empat tahapan proses perencanaan diproyeksikan kebutuhan fasilitas tranportasi yang akan mendukung aktivitas suatu kota. Walaupun demikian keluaran perencanaan transportasi kota tidak bersifat detail seperti kinerja simpang, efek pengembangan lahan utama dalam suatu zona tidak teridentifikasi.

Bangkitan Lalu Lintas dan Bangkitan Perjalanan
         Bangkitan lalulintas dan bangkitan perjalanan secara terminologi berbeda arti. Bangkitan lalulintas (traffic generation) bangkitan pergerakan dalam satuan kendaraan yang timbul akibat sesuatu aktivitas tataguna lahan. Sedangkan bangkitan perjalanan (trip generation) merupakan bangkitan orang di dalam kepentingan analisis di dalam perencanaan transportasi kota. Apabila di dalam perencanaan perjalanan menggunakan kendaraan pribadi telah diperkirakan, maka dengan mengalikan nilai okupansi penumpang rata-rata di dalam kendaraan akan didapatkan bangkitan lalulintas.
Aksesibilitas
         Sistem transportasi merupakan elemen dasar insfrastruktur yang mempengaruhi pola perkembangan kota. Pengaruh berupa : Perubahan tingkat pelayanan. Perjalanan ke pusat kota dari suatu daerah pemukiman tertentu berubah dari waktu ke waktu. Akibat pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan perjalanan semakin meningkat yang pada gilirannya menyebabkan kemacetan lalu lintas. aksesibilitas atau tingkat pelayanan ke pusat kota menjadi menurun yang akhirnya merubah pola perkembangan kota. Pusat kota menjadi tidak menarik lagi dan aktifitas bergeser mendekati daerah pinggiran kota. Akhirnya terjadi perubahan daerah pemasaran akibat aktivitas dan meningkatnya waktu perjalanan.
Proses Perencanaan Lokasi
Perencanaan lokasi (site planning) dan proses perancangan (design) pada umumnya dimulai dari keputusan mengenai ukuran dan bentuk bangunan serta posisinya pada suatu lahan. Peletakan bangunan biasanya berdasarkan alasan alasan estetika dan visual. Peletakan tempat parkir dan jalan-jalan sirkulasinya dirancang kemudian di sekitar bangunan. Akhirnya lokasi pintu masuk dan pintu keluar baru ditetapkan. Perbedaan awal pandangan antara arsitek bangunan (pada umumnya) dan traffic engineer (kalaupun ada). Arsitek seialu berorientasi pada bangunan terlebih dahulu, sedangkan traffic engineer berorientasi pada sejauh mana kondisi kinerja lalu lintas pada jalan di sekitar lahan dikaitkan dengan penempatan akses masuk dan keluar. Kurangnya perhatian terhadap hubungan tataletak bangunan dan akses dapat menyebabkan masalah-masalah sebagai berikut:


  • Kemacetan di dalam lokasi lahan akibat kapasitas jalan sirkulasi kurang memadai serta konfigurasi parkir yang kurang mendukung


  • Kemacetan pada sistem jalan umum di luar lahan akibat aktivitas yang terjadi di dalam lahan itu sendiri


  • Kemungkinan timbulnya kecelakaan lalulintas akibat tidak terkendalinya konflik arus lalulintas


  • Keterbatasan fieksibilitas untuk penyesuaian rancangan atau perubahan sistem pengoperasian.


  • Aktivitas Pengembangan Lahan


  • Kurang memadai kapasitas akses
Aktivitas Utama
Detail Penggunaan (contoh)
Retail
Makanan/Non makanan
Satu unit toko/sejumlah toko
Pusat penjualan tanaman
Pompa bensin
Usaha (employment)
Perkantoran
Kawasan usaha (business park)
Kawasan Industri (industrial estate)
Pergudangan (warehousing)
Perumahan (residential)
Perumahan pribadi
Apartmen
Panti/tempat penampungan
Pendidikan
Sekolah (TK, SD, SMP, dan SMU)
Universitas/Perguruan Tinggi
Pusat kursus/Balai pelatihan
Hotel dan Restoran
Hotel
Motel
Restoran
Kesehatan
Rumah sakit
Praktek Dokter
Puskemas
Rekreasi
Olahraga
Taman hiburan
Bioskop
Pusat kesenian

Sebelum memulai analisis dampak lalu lintas pertama kali kita harus mengenali aktivitas-aktivitas yang dapat membangkitkan perjalanan. Dengan mengenali deskripsi tataguna lahan, maka kita dapat mengetahui perkiraan atraktif bangunan.
Di dalam suatu pengembangan lahan dapat saja beberapa aktivitas digabung menjadi tataguna lahan campuran.
Pemahaman terhadap pengembangan lahan mutlak diketahui pada awal analisis. Deskripsi yang perlu diketahui antara lain:
Æ     Aktivitas campuran penggunaan lahan;
Æ     Ukuran pengembangan;
Æ     Tempat dan bentuk lokasi;
Æ     Jumlah tenaga kerja;
Æ      Akses;
Æ     Jam pengoperasian;
Bentuk Pelayanan
Æ     Tahapan Pengembangan
Ukuran pengembangan, lokasi dan jumlah tenaga kerja merupakan variabel sebagai basis estimasi bangkitan perjalanan (terminologi yang lebih tepat adalah tarikan perjalanan). Walaupun demikian jumlah tenaga kerja adalah variabel tersulit didapat mengingat pada saat perencanaan hanya ukuran dan lokasi pengembangan saja yang paling mungkin didapat.
Pengembangan lahan yang sudah ada (existing use) merupakan informasi yang paling penting pada perencanaan perluasan. Dampak lalu lintas bangunan yang ada dapat diukur langsung dan dapat dijadikan pembanding. Walaupun demikian besaran bangungan dan perilaku pengunjung akan berbeda. Hal ini disebabkan terdapat kemungkinan perpidahan pengunjung dari bangunan lama ke bangunan baru. Bangkitan pengunjung baru secara relatif tidak sebesar sewaktu bangunan lama pertama kali dioperasikan. Dari semua perencanaan tampak penerapan akses sangat penting dan harus diperhatikan dari awal perencanaan.
Æ     Prediksi Bangkitan Perjalanan
Hal-hal yang perlu dikonsiderasikan :
Ukuran bangkitan perjalanan yang digunakan adalah bangkitan kendaraan dan bukan bangkitan perjalanan individu orang sebagaimana diprediksi di dalam perencanaan kota. Bangkitan perjalanan individu yang tidak menggunakan kendaraan pribadi secara tidak langsung tetap diperhatikan dengan penyediaan fasilitas pendukung angkutan umum seperti jalur pejalan kaki dan tempat menunggu bus (bus shelter). Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwasanya kendaraan pribadi merupakan kontribusi terbesar untuk timbulnya konflik baru yang pada gilirannya menimbulkan dampak bagi lingkungan sekitarnya.
Hal-hal yang harus dikonsider antara lain:
Æ     Waktu dimana lalu lintas pada jaringan jalan dalam keadaan arus terpadat;
Æ     Waktu dimana lalu lintas yang menuju atau dari suatu pengembangan dalam keadaan terbesar;
Æ     Bagaimana hubungan antara kedua waktu di atas terhadap jaringan jalan maupun di dalam lokasi pengembangan;
Æ     Apakah terdapat variasi musiman baik pada jaringan jalan maupun aktivitas di dalam lokasi pengembangan;
Æ     Bangkitan perjalanan pada saat tidak sibuk (off peak) kalau dimungkinkan karena dibutuhkan untuk analisis dampak lingkungan secara keseluruhan (standar studi Amdal).
Definisi satu kali perjalanan adalah satu kali perjalanan kelokasi pengembangan atau satu kali perjalanan dari lokasi pengembangan. Penggunaan perjalanan 2 arah (datang dan pergi) harus tidak dipergunakan karena terminologi ini harus dinyatakan sebagai 2 perjalanan.
Metode Perkiraan Bangkitan Perjalanan
Terdapat 4 metode didalam memperkirakan bangkitan perjalanan, yaitu:
Æ     Menggunakan prinsip-prinsip utama (first principles);
Æ     Menggunakan persamaan (formulae);
Æ     Menggunakan model kompleks (complex models);
Æ     Melakukan perbandingan dengan mengembangkan yang sudah ada dan mirip dengan yang direncanakan (comparison method).

Prinsip-prinsip Utama
Metode ini membuat asumsi-asumsi dasar dimana bangkitan perjalanan diperkirakan terjadi seperti: kapan jam sibuk terjadi, berapa banyak pekerja akan datang dan pergi dengan menggunakan kendaraan pribadi, berapa banyak pengunjung akan datang dan pergi dengan menggunakan kendaraan pribadi serta berapa nilai okupansi kendaraan yang datang ke lokasi pengembangan. Metode ini sangat tidak akurat, tetapi sangat berguna untuk memeriksa hasil dari metode-metode lainnya.
Persamaan
Penelitian-penelitian dapat menghasilkan suatu formulasi bangkitan perjalanan dengan menggunakan parameter-parameter tertentu seperti luas bangunan, jumlah pekerja dan lain sebagainya. Penggunaan persamaan ini harus sedikit hati-hati mengingat kondisi suatu daerah dimana penelitian tersebut dilakukan belum tentu sama dengan daerah dimana analisis dampak lalu lintas akan dilakukan.
Model Kompleks
Sangat dimungkinkan untuk melakukan studi analisis dampak lalu lintas menggunakan model kompleks berdasarkan suatu program komputer seperti land use transportation model. Model ini akan menghasilkan sebaran perjalanan serta pembebanan lalu lintas. Formula bangkitan perjalanan pada umumnya sudah terdapat di dalam model, walaupun demikian penggunaan model ini sering kurang akurasi seperti penetapan zona analisis serta asumsi-asumsi didalamnya, mengingat model ini pada umumnya digunakan untuk perencanaan transportasi kota.
Studi Banding
Metode ini paling sering digunakan, khususnya untuk pengembangan berskala lokal. Studi banding ini dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan survai pada objek yang sudah ada dan mirip dengan objek yang akan dikembangkan. Selain itu studi banding dapat dilakukan oleh instasi lain (di Amerika oleh Institution of Traffic Engineer, di Inggris oleh Kumpulan data yang dihimpun oleh konsultan-konsultan dan dihimpun dalam database TRICS).
Tabel berikut Memperlihatkan contoh bangkitan perjalanan dikaitkan dengan jenis aktivitas tata guna lahan.
Tabel Besaran dan unitisasi bangkitan perjalanan (Stover dan Koepke, 1983)
Jenis
Tataguna Lahan
Jenis Pengembangan
Bangkitan Per Hari
Perumahan
Apartmen
Kondominium
Komonitas orang tua
5,7 per unit
5,1 per unit
3,3 per unit
Institusi
Pendidikan tinggi
Sekolah menengah
Sekolah dasar
Rumah sakit
Perpustakaan
Bangunan pemerintah
2,2 per mahasiswa
1,3 per siswa
1,0 per siswa
9,4 per tempat tidur
58,4 per pegawai
64,6 per 1.000 kaki persegi
Komersial
Pusat perbelanjaan (regional)
Pusat perbelanjaan (lokal)
Perkantoran
Bank
Bengkel mobil
315 per netto are
949 per netto are
15 per 100 kaki persegi
43 per pegawai
57 per pegawai
Industri
Industri aneka
Kawasan industri
Gudang
79 per netto are
64 per netto are
81 per netto are

Unitisasi untuk pengukuran bangkitan perjalanan lalu lintas harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Æ     Fungsional, berkaitan dengan volume lalu lintas yang dibangkitkan;
Æ     Relatif mudah didapatkan dan diukur;
Æ     Menyediakan nilai-nilai yang konsisten.

Sedangkan masalah akurasi data sangat tergantung dari hal-hal sebagai berikut:
Æ     Usia dari data;
Æ     Variasi harian;
Æ     Variasi lokasi;
Æ     Lalu lintas yang datang sejenak ke lokasi karena kebutuhan lokasi tersebut pada jalur rute perjalanan sehari-hari oleh yang bersangkutan (passer traffic);
Æ      Penggunaan lahan untuk berbagai bentuk usaha;
Æ     Okupansi rata-rata kendaraan;
Æ     Nilai variabilitas (minimum, maksimum, rata-rata, variasi standar);
Æ     Jumlah sampel.
Contoh Soal
Sebuah toko serba ada berikut swalayan dibangun terletak berseberangan dengan pusat perbelanjaan. Luas toko adalah 20.000 meter persegi GLA (Gross Lease Area). Diperkirakan setiap 100 meter persegi GLA menimbulkan bangkitan perjalanan pada jam sibuk sebesar 6 kendaraan. Diperkirakan 25% pengunjung datang dari pusat perbelanjaan diseberangnya
Jawab:
Jumlah perjalanan pada jam sibuk = 6 x 20.000/100 = 1.200 perjalanan;
Bangkitan perjalanan baru ke toko serba ada = 0,75 x 1.200 = 900 perjalanan;
Bila diasumsikan kendaraan yang datang sebanding dengan kendaraan yang keluar, maka pada jam sibuk bangkitan yang timbul akibat toko serba ada adalah :
kendaraan datang = 0,5 x 900 = 450 kendaraan dan kendaraan keluar = 450 kendaraan;
Akibatnya didalam analisis dampak lalu lintas jumlah 450 kendaraan yang datang dan keluar dijadikan basis untuk melihat sejauh mana fasilitas infrastruktur jalan yang ada masih dapat menampung tambahan lalu lintas dan bagaimana penempatan pintu-pintu masuk dan keluar serta sirkulasi dan tempat parkir yang harus disediakan.
Analisis Lalu Lintas
Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan
Di dalam analisis dampak lalu lintas terdapat tiga hal yang harus di analisis. Pertama, analisis lalu lintas eksternal yang melihat sejauh mana dampak tambahan lalu lintas akibat pengembangan lahan baru terhadap sistem jaringan yang ada. Kedua, analisis titik-titik akses yang melihat sejauh mana titik-titik akses dipilih sehingga memberikan dampak negatif terkecil terhadap lalu lintas eksternal. Ketiga, analisis lalu lintas internal meliputi analisis sirkulasi jalan internal dan kebutuhan tempat parkir kendaraan.
Analisis Lalu Lintas Eksternal
Perencanaan lalu lintas eksternal melibatkan dua komponen, yaitu :
Æ     Lalu lintas berorientasi ke lokasi (site-oriented traffic), yaitu lalu lintas dimana memiliki asal atau tujuan ke lokasi yang direncanakan.
Æ     Lalu lintas tidak berorientasi ke lokasi (non site-oriented traffic), yaitu lalu lintas yang tidak memiliki asal atau tujuan ke lokasi tetapi melalui jalan dimuka atau disekitar lokasi yang direncanakan (through traffic)
Site-Oriented Traffic
Site-Oriented Traffic relatif lebih mudah diperkirakan dibandingkan dengan Non Site-Oriented Traffic karena hal-hal sebagai berikut:
Æ     Aktivitas penggunaan lahan diketahui dari perencanaan arsitek dan pemilik bangunan;
Æ     Jumlah lalu lintas yang diperkirakan dapat ditentukan secara langsung sesuai dengan metode-metode tertentu;
Æ     Sebaran lalu lintas dapat diperkirakan karena terbatas pada jaringan jalan di sekitar lokasi.
Non Site-Oriented Traffic
Non Site-Oriented Traffic merupakan arus lalu lintas menerus yang melalui lokasi pengembangan. Asal tujuan lalu lintas jelas tidak diketahui pada level studi analisis dampak lalu lintas. Perkiraan asal tujuan lalu lintas didapat dari studi perencanaan transportasi kota berskala makro. Di dalam studi analisis dampak lalu lintas pencatatan lalu lintas menerus dilakukan dengan survai primer mencatat langsung besarnya lalu lintas saat ini dan dengan faktor perumbuhan dapat diperkirakan lalu lintas pada saat dibangun direncanakan di buka.
Sebaran dan Pembebanan Lalu Lintas
Metode Sebaran dan Pembebanan Lalu Lintas
Untuk Site-Oriented Traffic, metode sebaran lalu lintas (traffic distribution) dan pembebanan lalu lintas (traffic assignment) dapat dilakukan secara bersamaan. Di dalam analisis dampak lalu lintas, metode sebaran lalu lintas dapat dilakukan beberapa cara, antara lain: Direct Knowledge; Isochrones; Gravity Model; Oppurtunity Model.

Direct Knowledge
Salah satu contoh aplikasi ini adalah relokasi kantor, dengan dasar pengetahuan tempat tinggal karyawan, maka untuk kantor baru sebaran dan pembebanan lalu lintas dapat langsung diketahui. Hal ini juga dapat dilakukan untuk perluasan suatu usaha seperti pusat perbelanjaan. dengan melakukan survai pada kondisi eksisting, maka sebaran dan pembebanan lalu lintas akibat pertambahan lalu lintas dapat dianggap sama dengan kondisi saat ini.
Isochrones
Pendekatan ini sering digunakan dengan mengembangkan Primary Market Area (PTA) yang disesuaikan dengan waktu perjalanan rata-rata. Sebagai contoh Tabel berikut memperlihatkan PTA untuk berbagai aktivitas tata guna lahan.
Tabel Primary Trade Area untuk Berbagai Tata guna Lahan
Jenis Aktivitas Tataguna Lahan
Waktu Tempuh Maksimum PTA
Pusat Perbelanjaan Regional
20-30 menit
Pusat Perbelanjaan
15-20 menit
Pertokoan Lokal
10 menit
Kawasan Industri
30 menit

Contoh Soal
Direncanakan toko serba ada berikut pasar swalayan sesuai contoh pada besaran dan unitisasi bangkitan perjalanan, akan dibangun di lokasi seperti terlihat pada gambar 5.1a berikut :
clip_image004
Secara singkat analisis dampak lalulintas dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Bangkitan lalulintas pada jam sibuk sudah diperkirakan pada contoh soal pada besaran dan unitisasi bangkitan perjalanan dan didapat 450 kendaraan menuju ke lokasi dan 450 kendaraan meninggalkan lokasi.
2. Kemudian, dicari PTA (primary trade area), yaitu waktu tempuh sekitar 15 hingga 20 menit yang kemudian digambarkan isochome-nya seperti terlihat pada Gambar 5.1 b.
clip_image005
3. Bila persentase sebaran lalulintas dianggap linier dengan jumiah penduduk, maka dengan diketahuinya jumiah penduduk pada zone-zone analisisnya di dalam isochorne-nya persentase sebaran lalulintas juga akan diketahui seperti terlihat pada berikut :
Tabel Perkiraan Persentase Sebaran Lalulintas (Contoh Soal)
Zone Analisis
Jumiah Penduduk
Persentase Sebaran Lalulintas
A
1 0.000 jiwa
25,00%
B
5.000 jiwa
12,50%
C
7.500 jiwa
18,75%
D
5.000 jiwa
12,50%
E
12.500 jiwa
31,25%
Total
40.000 jiwa
100,00%

4. Sebaran lalulintas kemudian dicari dengan mendistribusikan ke zone-zone analisis jumiah total bangkitan lalulintas seperti terlihat pada berikut. Kemudian dibebankan ke dalam sistem jaringan jalan seperti terlihat pada Gambar 5.1c.
clip_image007

Tabel Sebaran Lalulintas Toko Serba & Pasar Swalayan (Contoh Soal).
Zone Analisis
PersentaseSebaran Lalulintas
Volume DatangLokasi Pada JamSibuk
Volume KeluarLokasi Pada JamSibuk

A
25,00%
1 1 3 kendaraan
1 1 3 kendaraan
B
12,50%
56 kendaraan
56 kendaraan
C
18,75%
84 kendaraan
84 kendaraan
D
12,50%
56 kendaraan
56 kendaraan
E
31,25%
141 kendaraan
141 kendaraan
Total
100,00%
450 kendaraan
450 kendaraan

Dengan menambahkan volume arus menerus (through traffic), maka dapat diukur kinerja simpang maupun ruas di sekitar lokasi apabila perbedaan sebelum dan sesudah ditambah bangkitan lalu lintas akibat pengembangan lahan cukup besar di atas kapasitas, maka harus dilakukan upaya-upaya perbaikan.
Gravity Model
Aplikasi Gravity Model sama dengan proses yang umum dilakukan untuk sebaran perjalanan pada perencanaan transportasi kota. Persamaan umum adalah sebagai berikut:
Xij = aPj Tijb
Dimana
Xij = proporsi perjalanan (dalam satuan kendaraan) dari zona I (zona lokasi pengembangan) ke zona
Pj = proporsi dari zona j
Tij = waktu tempuh/jarak/biaya antar zona I dan j
a,b = koefisien distribusi ( b selalu negatif, dan nilai sebesar –2 pada umumnya terlalu rendah.
Opportunity Model
Model ini merupakan model yang kompleks dimana semua efek alternatif pengembangan diperhatikan. Salah satu aspek yang menarik adalah perencanaan pusat perbelanjaan. Bangkitan perjalanan (dan lalulintas) pada shopping model yang digunakan oleh pengembang retail pada dasarnya berbasis aspek perputaran uang (financial turnover) dan bukan perjalanan. Di dalam model ini perlu dikaji hubungan antara perputaran uang dengan perjalanan khususnya yang berkaitan dengan pusat perbelanjaan.

Format Analisis Dampak Lalu lintas
Kapan Suatu Pengembangan Harus Melakukan Analisis Dampak Lalulintas ?
Di Indonesia pengaturan analisis dampak lalulintas belum sebaku analisis dampak lingkungan (Amdal). Di DKI Jakarta acapkaii analisis dampak lalulintas dijadikan bagian dari analisis dampak lingkungan, khususnya sewaktu membahas aspek transportasi.
Tidak semua pengembangan harus melakukan kajian analisis dampak lalulintas, khususnya pengembang berskala kecil. Permasalahan definisi skala kecil perlu ditetapkan. Sedangkan skala yang sangat besar sehingga merupakan kota di dalam kota mungkin harus dilakukan suatu studi makro terlebih dahulu (perencanaan transportasi kota) sebelum masuk ke kajian analisis dampak lalulintas untuk unit-unit bangunan di dalamnya.
"Warrant"Analisis Dampak Lalulintas di Inggris
Sebagai ilustrasi di lnggris telah dibuat warrant untuk kajian analisis dampak lalulintas (TUE, 1997), yaitu:
pengembangan perumahan yang melebihi 200 unit bangunan kawasan niaga dengan gross floor area (GFA) melebihi 5.000 meter persegi pergudangan dengan GFA melebihi 10.000 meter persegi pertokoan dengan G FA melebihi 1 000 meter persegi 100 perjalanan (kendaraan) masuk dan keluar pada jam sibuk ke suatu bangunan atau bangunan dengan memiliki petak parkir untuk 100 kendaraan atau lebih dengan akses tunggal ke jalan umum terdekat.
Laporan Analisis Dampak Lalulintas
Laporan analisis dampak lalulintas (modifikasi dari TUE,1997) setidak-tidaknya berisi hal sebagai berikut:
1. Ringkasan Non-Teknis, berisi resume non teknis mengenai deskripsi pengembangan dan proyeksi lalulintas.
2. Kondisi Saat lni, berisi deskripsi keadaan lalulintas saat ini termasuk juga fasilitas infrastruktur transportasi di sekitar lokasi, manajemen lalulintas, fasilitas angkutan umum dan kebijakan transportasi yang diterapkan oleh pemerintah daerah setempat (seperti retribusi parkir dan lain sebagainya).
3. Proposal Pengembangan, berisi deskripsi bangunan yang direncanakan dibangun dengan semua aspeknya seperti koefisien dasar bangunan, luas bangunan dan jumiah petak parkir.
4. Bangkitan Lalu lintas, berisi kuantifikasi perkiraan bangkitan lalulintas yang timbul bedasarkan suatu metode yang digunakan. Perkiraan ini harus menunjukan bangkitan lalulintas per hari dan pada jam sibuk (baik jam sibuk lalulintas di jalan maupun jam sibuk di dalam lokasi). Perkiraan ini meliputi kondisi pada hari kerja dan hari libur (khususnya yang dapat membangkitkan lalulintas pada hari libur). Apabila terdapat tahapan pengembangan juga harus dikaji bangkitan lalu lintasnya.
5. Sebaran Lalulintas, berisi deskripsi daerah pengaruhnya dan konsiderasinya, identifikasi jenis-jenis perjalanan (perjalanan utama dan perjalanan bukan utama), identifikasi sistem jaringan jalan dan zona analisisnya yang diakhiri dengan kuantifikasi sesuai bangkitan lalulintas dan waktu pengamatan yang dibahas pada butir 4 di atas.
6. Pembebanan Jaringan Jalan, berisi antara lain identifikasi rute-rute lalulintas utama, pembahasan konflik pada simpang-simpang terdekat dan titik-titi akses.
7. Upaya Penanggulangan. berisi usulan penanggulangan apabila pembebanan lalu lintas menyebabkan kinerja jaringan jalan menjadi buruk serta tahun target pengujiannya (sewaktu bangunan dioperasikan secara penuh atau tahapan apabila pengembang melakukannya).
8. Dampak Sistem Jaringan Jalan, berisi kajian dari perubahan detail rancangan, apakah terdapat kondisi yang tidak memenuhi standar, aspek-aspek keselamatan lalulintas dan fasilitas angkutan umum serta pejalan kaki.
9. Sirkulasi Internal, berisi rancangan sirkulasi internal, titik-titik akses ke lokasi serta rancangan tempat parkir dan fasilitas menaikan dan menurunkan barang serta fasilitas untuk kondisi darurat.